Sebagai seorang muslim, hendaknya
kita menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan dalam setisp perbuatan
yang kita lakukan, karena beliaulah suri tauladan yang baik. Nabi Muhammad SAW
yang telah Allah pilih sebagai utusanNya untuk menyampaikan risalah-risalahNya,
beliau adalah manusia yang ma’sum atau terjaga, setiap beliau berbuat salah,
pasti Allah akan menegurnya, karena beliau adalah manusia yang istimewa, banyak
keistimewaan yang beliau miliki dari manusia lain. Setiap perbuatan yang
dilakukannya akan menjadi sunnah, dan barang siapa yang mengikutinya akan
mendapatkan pahala dan balasan dari Allah SWT, akan tetapi tidak semua
ketentuan yang ditetapkan untuk beliau berlaku juga untuk umatnya juga,
misalnya pernikahan beliau.
Saat
ini banyak orang melakukan poligami dengan alasan ittiba’ rasul, bahkan ada
pula di antara mereka yang menikahi wanita lebih dari empat. Tentang poligami,
Allah telah mengaturnya dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ
مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Allah tidak melarang umatnya untuk
melakukan poligami namun Allah telah menentukan batasan dalam poligami yaitu
empat orang wanita. Dan bagi mereka yang berkeinginan untuk berpoligami harus
mampu memenuhi persyaratan poligami yaitu adil. Jika mereka yang menikahi lebih
dari empat wanita tersebut berdalih dengan alasan ittiba rasul, maka itu tidak
dapat dibenarkan, karena dalam hal ini ada ketentuan khusus bagi Nabi Muhammad
SAW yang tidak berlaku bagi manusia lainnya.
Seseorang
yang berniat berpoligami untuk ittiba rasul, hendaknya ia memperhatikan kembali
sejarah pernikahan-pernikahan Rasulullah. Jika kita perhatikan sejarah beliau,
beliau tidak pernah menikah selama istri pertama beliau, Khadijah masih hidup,
bahkan setelah Khadijah wafat beliau tidak langsung menikah. Selain itu beliau adil
dalam memperlakukan istri-istrinya, baik itu dalam urusan pembagian harta,
kasih sayang maupun waktu, mereka juga
harus memperhatikan latar belakang beliau dalam melakukan pernikahan-pernikahan
tersebut.
Banyak hal yang melatarbelakangi pernikahan-pernikahan Nabi Muhammad
SAW, antara lain adalah untuk membantu wanita yang suaminya baru meninggal
dalam peperangan, membantu janda dan orang miskin, menambah dan mempererat hubungan dengan salah satu
pendukung fanatik islam yaitu Abu Bakar,yaitu dengan menikahi Aisyah binti Abu
Bakar. Juga dalam upaya membangun hubungan yang baik dengan suku-suku lain yang
semula berniat memerangi Islam, sehingga ketika Nabi SAW
mengawininya perang pun dapat
terhindarkan dan tak ada pertumpahan darah,
yaitu pernikahan beliau dengan Juwairiyah Binti Harits.
Tentang sifat adil
beliau, pernah ada riwayat menyebutkan, ketika Rasulullah pulang dari
bepergian, beliau ingin memberikan kejutan untuk para istrinya, beliau telah
mempersiapkan cincin untuk para istrinya. Saat Rasulullah memberikan kepada seorang
istrinya beliau terlebih dahulu menyanjung istrinya dan berkata bahwa ia membeli
cincin ini khusus untuk dirinya, dan beliaupun berkata untuk jangan memberi tahu
istri yang lain jika beliau memberi cincin ini, dan beliau juga mengatakan hal
yang sama kepada semua istrinya. Begitulah keadilan Rasulullah, beliau ingin memberi
kejutan kepada semua istrinya dengan caranya.
Salah
satu pernikahan beliau juga ada yang diilhami dari wahyu, yaitu pernikahan
beliau dengan Zainab binti Jahsy. Zainab binti Jahsy merupakan istri Zaid bin Haritsah yang pernah menjadi
budak kemudian menjadi anak angkat Nabi, hubungan antara keduanya kurang
bahagia, kemuadia Zaid menceraikannya walaupun sudah dinasehati oleh Nabi. Nabi
menerima wahyu jika keduanya bercerai, beliau harus menikahi Zainab, sesuai
dalam firmanNya dalam surat al-Ahzab ayat 37,
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ
عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ
وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا
وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ
أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولا
“Dan
(ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan
nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah
terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di
dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia,
sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu
dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini)
istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah
menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu
pasti terjadi”.
Jadi, seseorang yang
berniat berpoligami karena ingin mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW hendaknya
ia memerhatikan beberapa poin berikut. Pertama, bahwa Nabi Muhammad
tidak pernah berpoligami selama Istri pertama masih ada. Kedua, dalam
berpoligami beliau selalu memperlakukan istri-istrinya dengan adil, dan bahwa
adil adalah suatu hal yang tidak mudah dilakukan untuk manusia biasa. Ketiga,
latar belakang pernikahan beliau adalah untuk dakwah dan membantu orang lain. Dengan
memerhatikan alasan-alasan dan cara poligami ala Rasulullah, insya Allah
pernikahan yang diridhai Allah akan tercapai. Wallahu’alam.
Oleh:
Dzakia RIfqi Amalia
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين